Keuangan dan harta benda Gereja


“Gereja Katolik mempunyai hak asli, tidak tergantung pada kuasa sipil, untuk memperoleh, memiliki, mengelola dan mengalih milikkan harta benda guna mencapai tujuan-tujuannya yang khas” (Kan. 1254 § 1), Adapun tujuan-tujuan yang khas itu terutama ialah: mengatur ibadat ilahi, memberi sustentasi yang layak kepada klerus serta pelayan-pelayan lain, melaksanakan karya-karya kerasulan suci serta karya amal-kasih, terutama terhadap mereka yang berkekurangan. (Kan. 1254 § 2). Selain itu, “Gereja dapat memperoleh harta benda dengan semua cara yang adil baik menurut hukum kodrat maupun menurut hukum positif, sama seperti yang diperbolehkan bagi semua orang lain” (Kan. 1259).

Dengan demikian tata kelola keuangan Gereja sebenarnya memenuhi nasihat Kitab Hukum Kanonik yang mengatur secara khusus Pengelolaan Harta Benda (KHK kan. 1273-1289) dengan mengembangkan prinsip-prinsip dasar dan sikap terhadap harta benda gerejawi. Namun, salah urus keuangan seringkali menimbulkan masalah besar. Kasus-kasus besar korupsi dan kebangkrutan perusahaan dan organisasi terkait erat dengan manajemen keuangan. Berikut ini adalah hal-hal yang menyebabkan masalah keuangan, antara lain:

  • catatan-catatan peristiwa keuangan yang tidak jelas,
  • tidak adanya prosedur penerimaan dan pengeluaran uang,
  • tidak ada bukti penerimaan dan pengeluaran yang jelas (kwitansi, nota, perintah bayar, voucher, dan lain-lain),
  • bendahara tidak segara membuat laporan keuangan,
  • bendahara tidak melaporkan dan tidak diminta melaporkan keuangannya secara rutin,
  • pengurus atau pimpinan tidak pernah memeriksa pekerjaan bendahara,
  • peminta dana tidak membuat atau tidak segera membuat laporan pemanfaatannya.
  • Keuangan dipegang pimpinan organisasi sendiri tanpa ada yang boleh tahu dan tidak pernah membuat laporan.

Asal-Usul Keuangan Paroki
Gereja dalam hal ini paroki adalah sebuah lembaga dengan roda pelayanan yang terus bergerak, oleh karena itu membutuhkan sarana duniawi (dalam hal ini uang) untuk menjaga roda tersebut tetap bergerak. Namun fakta ini tidak bisa dijadikan legitimasi untuk menghimpun dana dari rakyat. Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan keuangan paroki merupakan hak dan kewajiban umat, yang datang secara langsung dan spontan dari rahmat sakramen inisiasi (baptis, krisma, dan Ekaristi) yang mereka terima.

Hukum Gereja dengan jelas menetapkan bahwa semua orang beriman kristiani, tanpa kecuali, dipanggil melalui baptisan untuk mengemban misi yang dipercayakan Allah kepada Gereja menurut kedudukannya masing-masing. Dengan pembaptisan yang sama, seseorang segera bergabung dengan Gereja dan berpartisipasi dalam pekerjaan misionarisnya. Selain itu, baptisan menempatkan umat beriman pada pijakan yang sama dalam martabat dan tugas membangun Gereja Kristus sesuai dengan kondisi dan tugas khusus masing-masing (Kan. 208). Atas dasar persamaan martabat dan kebersamaan dalam tugas dan tanggung jawab, umat beriman kristiani mempunyai hak dan kewajiban mendasar untuk membantu memenuhi kebutuhan Gereja untuk menyediakan bagi mereka apa yang untuk ibadat ilahi, karya kerasulan dan amal, dan kehidupan normal para pelayan Gereja (Kan. 2221). Bahkan, itu adalah hak rakyat itu sendiri yang dapat mereka gunakan dengan bebas tanpa batasan dari otoritas sipil (kan. 1261§ 1). Jadi, hak dan kewajiban tersebut bersumber langsung dan spontan dari rasa gereja (sensus ecclesiae) atau rasa kebersamaan yang sejati, yang diwujudkan dalam tanggung jawab bersama, partisipasi dan solidaritas.

Meskipun hak dan kewajiban tersebut harus dijalani secara spontan oleh masyarakat, namun seringkali sebagian dari mereka lupa atau lalai. Jadi, tidak ada salahnya jika otoritas gerejawi, yaitu uskup diosesan, sebagaimana diatur dalam Kitab Hukum Kanonik, untuk memperingatkan umat tentang kewajiban mereka, bahkan mendesak dengan cara yang tepat agar kewajiban itu mereka penuhi (Kan. 1261 § 2). “Cara yang tepat” mengandaikan analisis yang teliti dan tepat lebih dahulu mengenai kebutuhan, sumber daya, dan dana yang tersedia atau yang bisa disediakan. Cara itutidak menggunakan model yang pemaksaan dengan kekerasan, melainkan model persuasif yang ditimba dari nilai-nilai kristiani.


Pages: 1 2 3 4