C. Tradisi


Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Kelas X Bab III Kitab Suci dan Tradisi Sumber Iman akan Yesus Kristus yang mendalami tentang Tradisi. Gereja Katolik yakin bahwa Kitab Suci (Alkitab) bersama Tradisi dinyatakan oleh Gereja sebagai “tolok ukur tertinggi iman Gereja” (Dei Verbum Art. 21). Dengan kata “iman”, yang dimaksudkan adalah baik iman objektif maupun iman subjektif. Jadi, “kebenaran-kebenaran iman” yang mengacu kepada realitas yang diimani dan sikap hati serta penghayatannya merupakan tanggapan manusia terhadap pewahyuan Allah.

Pengertian Tradisi Gereja

Menurut   Kamus  Bahasa  Indonesia,  tradisi  diartikan   sebagai  adat kebiasaan turun-temurun (berupa  upacara, peralatan, kesenian, adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran) yang masih dijalankan oleh masyarakat. Tradisi dapat  mengalami perubahan  dan  penyesuaian dengan  situasi dan kondisi masyarakat bersangkutan. Bilamana tradisi dianggap tidak lagi relevan dengan tata nilai masyarakat atau tidak mampu menjawab tantangan zaman maka tradisi semacam ini biasanya ditinggalkan dan punah  dengan sendirinya. Jadi sesungguhnya tradisi dapat dipandang sebagai pencerminan  dari penghayatan masyarakat tentang  nilai atau ajaran tertentu, yang kemudian diungkapkan dalam peralatan, kesenian, upacara, norma atau ajaran.

Menurut Kamus Teologi, tradisi berasal dari bahasa Latin traditio yang berarti penerusan. Tradisi adalah proses penerusan (tradisi sebagai tindakan) atau warisan yang diteruskan (tradisi sebagai isi). Kata tradisi dalam bahasa Yunani yaitu paradosis yang secara harafiah berarti sesuatu yang telah “diserahkan”, “diteruskan”, “diwariskan”. Gereja Katolik mewarisi kekayaan tradisi yang luar biasa, walaupun ada juga tradisi yang berubah atau tidak lagi hidup di kalangan umat. Di masa lalu Gereja Katolik pernah mempunyai tradisi-tradisi seperti puasa selama masa puasa, puasa sebelum menerima Komuni, pantang daging pada hari Jumat, mengangkat topi pada waktu melewati depan gedung gereja (karena Sakramen Mahakudus ada di dalamnya), wanita menutup  kepala  di  gereja, dan  lain-lain.  Tradisi-tradisi  itu  pernah menjadi bagian budaya Katolik yang cukup populer dan tradisi semacam itu ternyata cukup membantu memperkuat identitas Katolik. Akan tetapi, beberapa diantaranya sudah tidak dipraktikkan oleh Umat.

Dalam arti yang paling dasar, ”tradisi” merupakan  pengalaman iman bersama jemaat Kristiani, dalam menghayati hidup dan imannya dalam Kristus berkat persatuannya di dalam Roh Kudus. Pemeliharaan tradisi dalam  Gereja bertujuan  agar pewahyuan  Allah  dipertahankan  dan diungkapkan dalam hidup jemaat. Dan oleh karena Gereja tidak terikat dengan masyarakat, budaya atau bangsa tertentu, maka penetapan tradisi- tradisi  suci  selalu menekankan  prinsip  universalitas  (berlaku  untuk segenap Gereja) berkesinambungan (dari para saksi/murid Kristus dan para penggantinya), didasari konsesus dalam upaya menjaga kesatuan Tubuh Kristus.

Tradisi jauh lebih banyak daripada hormat terhadap hal-hal yang kuno. Tradisi merupakan kenyataan yang hidup yang menyimpan pengalaman iman jemaat yang diterima, diwartakan, dirayakan, dan diwariskan kepada angkatan-angkatan selanjutnya. Konsili Vatikan II memandang penting peran tradisi ini dalam kehidupan iman Gereja, sebagaimana ditegaskan dalam Konstitusi tentang Wahyu Ilahi: ”Demikianlah Gereja dalam  ajaran, hidup  serta ibadatnya  melestarikan serta meneruskan kepada  semua  keturunan,  dirinya  seluruhnya, iman-nya  seutuhnya”. Tradisi ”berkat bantuan Roh Kudus” berkembang dalam Gereja, ”sebab berkembanglah pengertian tentang kenyataan-kenyataan maupun  kata- kata yang ditanamkan,” dan ”Gereja tiada hentinya berkembang menuju kepenuhan kebenaran Ilahi” (Dei Verbum 8).


Pages: 1 2 3