F. Hukuman Mati


Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati, yaitu;

a)Hukuman pancung: hukuman dengan cara potong kepala
b)Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik bertegangan tinggi;
c)Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan;
d)Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh;
e)Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat eksekutornya;
f)Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati.

Dalam masyarkat, baik di Indonesia maupun dunia internasional, hukuman mati masih terus diperdebatkan. Di beberapa negara, hukuman mati sudah dihapuskan, sementara negara lain masih terus memberlakukan, seperti di Indonesia hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak. Perlu diketahui bahwa cara pandangan tentang hukuman mati sangat dipengaruhi oleh latarbelakang agama dan budaya pada wilayah kawasan tersebut.

Kitab Suci Perjanjian Lama

Allah seringkali menyatakan kemurahan-Nya ketika berhadapan dengan kesalahan yang seharusnya dianggap bisa dijatuhi hukuman mati. Hal ini nampak misalnya ketika Daud melakukan perzinahan dan pembunuhan berencana, namun Allah tidak menuntut nyawanya diambil (2 Samuel 11:1-5; 4-17; 12:13). Contoh lain dapat dilihat di dalam kisah tentang Kain yang membunuh saudaranya Habel. Dalam kisah ini nampak bahwa Allah menghukum Kain yang telah membunuh saudaranya Habel, tetapi Allah tidak menjatuhkan hukuman mati atasnya.“Sekalikali tidak! Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat.”Kemudian TUHAN menaruh tanda pada Kain, supaya ia jangan dibunuh oleh siapapun yang bertemu dengan dia” (Kejadian 4:15).
Dari sisi ini dapat dilihat bahwa nampaknya Perjanjian Lama mengajarkan tentang pelaksanaan hukuman mati sejauh menyangkut persoalan/ kesalahan yang bersifat serius dan biasanya menyangkut kejahatan terhadap masyarakat. Hal ini misalnya menyangkut pelanggaran terhadap perjanjian dengan Tuhan yang darinya dianggap bisa mendatangkan hukuman/ kutukan bagi bangsa Israel. Maka untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan Allah, para pelanggar ini harus dikeluarkan dari masyarakat. Tentu saja di sini yang dimaksudkan dengan dikeluarkan dari lingkungan masyarakat artinya dihukum dengan hukuman mati, dan hukuman mati yang umumnya dijalankan adalah dengan cara dirajam dengan batu. Hal ini juga berhubungan erat dengan pengertian mereka tentang penyelenggaraan Tuhan, yakni bahwa yang berkuasa atas hidup dan mati hanyalah Tuhan sendiri. Dia merupakan sumber dan pemelihara segalanya, termasuk hukum. Oleh karena itu, yang melanggar perjanjian yang telah dibuat dengan umat-Nya dapat diserahkan kepada kematian oleh kuasa-Nya dan dalam nama-Nya.
Namun di sisi lain, Tuhan adalah maha pengampun yang tidak serta merta menghendaki kematian orang berdosa. Dalam konteks ini, Perjanjian Lama juga memperlihatkan secara jelas tentang Tuhan yang Maha Pengampun dan murah hati. Ini nampak dalam sabda-Nya kepada Yehezkiel: “Katakanlah kepada mereka: Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu! Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel?” (Yehezkiel 33:11)
Dengan demikian nampak bahwa Allah memang menghukum yang bersalah, namun Dia tidak menghendaki orang berdosa itu mati, Allah lebih menghendaki agar ia bertobat dan kembali kepada jalan yang benar. Dari sini nampak adanya semacam cara pendidikan dari Allah yang masih mau memberi kesempatan kepada yang bersalah untuk bisa berubah.

Pages: 1 2 3 4 5 6